Di tengah laju cepat perkembangan zaman, mari sejenak memperhatikan sisi menarik tentang manuskrip, sebuah naskah yang ditulis manual dengan pena dan tinta. Naskah yang diciptakan jauh sebelum alat pengetikan dan teknologi seperti komputer berkembang seperti sekarang. Manuskrip menjadi bukti nyata bahwa pemikiran, ideologi, dan cita-cita yang ingin dilanjutkan bisa disampaikan ke masa depan. Manusia boleh saja meninggal dunia di usia yang pendek, tapi gagasannya bisa tetap hidup sepanjang masa.
Sebagai bentuk tinggalan sejarah, manuskrip menjadi sangat berharga bagi setiap bangsa. Ia menyimpan hasil dari perjuangan masa lalu yang tentunya bisa dikembangkan untuk kebaikan bangsa di masa kini dan mendatang. Ia juga merupakan bentuk kekayaan intelektual yang perlu dijaga, dikenalkan dan diwariskan dalam rangka al-muhafazhah ‘alal qadiimish shaalih (menjaga nilai-nilai lama yang luhur)
Bagai mesin waktu manuskrip membawa kita untuk kembali menelaah khazanah keilmuan yang dibangun berabad-abad lamanya. Melihat hasil dari usaha keras yang dilakukan oleh manusia-manusia di zaman yang telah lampau. Bisa kita tinjau perubahan demi perubahan yang muncul dari cara penulisan huruf-huruf Arab di dalam manuskrip yang menulis tentang tafsir Al-Quran. Beberapa cara penulisan kalimat Arab di manuskrip berbeda dengan cara penulisan kalimat Arab di masa kini, seperti penulisan kata جاء yang ditulis hanya dengan جا saja tanpa mencantumkan huruf Hamzah. Namun, hal yang perlu digarisbawahi adalah perbedaan cara penulisan ini tidak mempengaruhi terhadap makna yang diinginkan oleh muallif.
Adanya sebuah kemajuan dari penggunaan huruf Hamzah seperti yang dimisalkan di atas menunjukkan bahwa para ulama’ terdahulu senantiasa berpikir dan berbenah untuk menjadikan tulisan Arab lebih mudah dipahami dan dipelajari, sehingga nilai-nilai keislaman yang diwariskan lewat manuskrip bisa terjaga dan menjadi rujukan umat Islam dalam mengkaji sumber keilmuan Islam yakni Al-Quran dan Hadits.
Meninjau Masa Lalu
Membaca manuskrip berarti membaca pemikiran para ulama’ di masa lampau. Tidak hanya hasil pemikirannya saja, namun dengan membaca manuskrip kita seakan-akan ditunjukkan pula kepada kesungguhan dan tekad kuat mereka. Betapa kuatnya semangat yang para ulama tumbuhkan sehingga mampu menyelesaikan puluhan, ratusan, bahkan ribuan halaman manuskrip dengan tulis tangan. Waktu yang mereka habiskan untuk belajar, membaca, menulis dan berdiskusi tentunya tidaklah sedikit. Malam-malam saat mereka lebih banyak terjaga daripada orang lain yang memilih untuk lelap. Benar-benar sebuah perjuangan yang hanya mengharap ridha Allah semata.
Hal menarik lain yang perlu kita teladani dari para ulama terdahulu adalah tentang konsistensi (istiqomah) dan akhlaq saat menulis manuskrip. Beberapa waktu lalu penulis mengetik ulang sebuah manuskrip tafsir Al-Quran surat Al-Baqoroh dan Ali Imran. Pada manuskrip tersebut setiap ada nama Nabi Muhammad selalu diikuti dengan sebuah doa صلى الله عليه وسلم (lengkap dan tanpa disingkat). Mungkin tidak terlalu menakjubkan jika penulisan tersebut dilakukan di masa kini, karena untuk menuliskan صلى الله عليه وسلم berulang kali bisa dipercepat dengan fitur copy and paste atau bisa dengan menggunakan symbol yang telah tersedia di font Arab tertentu. Namun, para ulama’ di masa lalu tetap konsisten menuliskan doa صلى الله عليه وسلم di kala menuliskan nama Nabi Muhammad Shallallaahu ‘Alaihi Wa Sallam. Teladan yang mulia tentang konsistensi dan akhlaq dalam menjunjung kemulian Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wa Sallam.
Manuskrip memang bukan buku kekinian, ia adalah lembaran yang berumur sangat tua. Namun ia mampu menegaskan bahwa sejak dulu manusia yang benar-benar berjuang mampu hidup lebih lama dengan buah karyanya. Jasadnya boleh terkubur di dalam tanah, tapi jiwanya tetap hidup di dalam tulisan-tulisannya. Bahkan, membimbing manusia-manusia lain yang jauh dari masanya. Bi idznillah…