Satu kata. Tiga huruf. Sensitif. Indeks Prestasi Kumulatif (IPK), haruskah kita sebagai mahasiswa membicarakannya dengan orangtua?
Berbicara keharusan, maka prakteknya tak bisa dipukul rata. Masing-masing mahasiswa dan orangtua memiliki persepsi tersendiri mengenai IPK, sehingga tidak semua mahasiswa merasa butuh membicarakan IPK kepada orangtuanya.
Orangtua dengan tipikal kontrol ketat seringkali menekan mahasiswa untuk rutin melaporkan IPK terbarunya, namun orangtua berpola asuh membebaskan pengembangan minat bakat anaknya tentu membuat sang mahasiswa memandang perbincangan IPK sebagai hal yang sifatnya kondisional saja.
Kendati begitu, duduk di meja makan bersama orangtua sembari memperbincangkan capaian IPK memiliki keuntungan dan kerugian tersendiri.
Keuntungan dan kerugian tersebut sering tidak kita sadari, entah karena kita menganggap remeh atau justru abai dan takut untuk berusaha terbuka kepada orangtua. Melalui tulisan ini, semoga kamu terbantu lebih bijak dalam menyikapi IPK capaianmu maupun ekspektasi orangtua.
Untung: Saling Memahami Komitmen dan Pilihan Hidup
Perbedaan selera pekerjaan sudah menjadi hal yang lazim memicu konflik antara mahasiswa dengan orangtuanya. Ada kalanya seorang mahasiswa lebih mementingkan bisnis kuliner yang dirintisnya bersama kawan kuliah daripada capaian IPK, sehingga orangtuanya cepat marah ketika sang mahasiswa mengalami penurunan IPK walau hanya sebesar 0.05.
Sang orangtua menginginkan anaknya untuk berkarir sesuai disiplin ilmu kuliahnya, sehingga memberikan perlakuan tegas berupa marah sebagai bentuk kasih sayangnya mengarahkan anaknya pada jalur karir yang beliau nilai benar.
Konflik atas dasar beda pendapat tentu bukanlah hal yang sehat untuk didiamkan begitu saja. Lebih-lebih jika menyangkut IPK, kita perlu meminimalisir konflik terhadap orangtua akibat persoalan IPK.
Solusi yang cukup aplikatif dan bertanggungjawab adalah membuka forum diskusi kondusif dengan meluangkan waktu kita untuk benar-benar menjelaskan kondisi IPK kita kepada orangtua.
Diskusi kondusif melalui interaksi yang hangat bisa mencegah terjadinya konflik antara kita dengan orangtua. Kita bisa berupaya untuk menegosiasikan pilihan karir kita dengan berbagai alasan logis yang sudah terencana, sebagaimana orangtua menjadi lebih termudahkan untuk benar-benar memahami pekerjaan pilihan kita di masa depan.
Interaksi dua arah tentunya akan menciptakan kondisi yang saling pengertian dan menguntungkan. Perbedaan life plan bukanlah masalah, selama kedua belah pihak (kita dan orangtua) saling mendinginkan pikiran dan sadar untuk bergerak kompak mencari jalan tengah.
Selama membuka percakapan tentang IPK secara perlahan dan teliti, maka kita telah menjadi mahasiswa sekaligus anak yang bertanggungjawab kepada orangtua.
Tugas utama kita selaku mahasiswa dan anak adalah berjuang belajar secara maksimal. Masing-masing dari kita memiliki kemampuan belajar dan potensi bakat tersendiri, sehingga kadar maksimal kita pun pada akhirnya akan bersifat relatif.
Pahami kelebihan dan kekurangan diri kita. Lalu, jelaskan dengan cara yang santun pada orangtua. Maka, orangtua akan lebih mudah luluh dan menghargai tiap air mata yang telah kita teteskan dalam berjuang meraih IPK sebaik yang kita bisa.
Rugi: Terkena Intervensi dan Riskan Kurang Mandiri
Coba tengok kartu mahasiswa yang kita miliki. Di situ, ada nama dan nomor induk yang tersemat khusus hanya kepada satu orang. Di sana, kita tidak menemui nama ayah maupun ibu kita. Hanya nama kita seorang diri yang tertulis jelas di atas cetakan kartu tersebut. Artinya, pemain utama dari setiap semester perkuliahan yang kita jalani adalah jiwa dan raga kita sendiri.
Petualangan kuliah sering bermasalah ketika kita sebagai pemain utama harus memenuhi tuntutan berbelok sana dan sini dari pihak lain.
Nahkoda utamanya adalah diri kita sendiri dan IPK merupakan bahtera yang kita kemudikan untuk terus mengarungi semester demi semester hingga pelayaran usai.
Namun, sensasi berkuliah menjadi kurang nyaman ketika orang lain justru mengatur-atur arahan yang sebenarnya sudah kita pahami dan tentukan secara sadar.
Sayang sekali, orangtua kita bisa menjadi salah satu pihak yang mengganggu keberlangsungan kuliah melalui perilaku intervensi.
Ketika mengetahui angka IPK kita, orangtua memiliki pendapatnya tersendiri. Beruntung kiranya orangtua memahami dan tetap mendukung kita untuk meningkatkan capaian IPK sesuai kemampuan, namun ingatlah bahwa “laut kehidupan tak selamanya tenang tanpa ombak”.
Terkadang, orangtua bisa terdorong untuk melakukan intervensi dengan cara membatasi aktivitas perkuliahan kita hanya sesuai pada apa yang beliau nilai baik.
Proporsionalitas bercerita perlu kita perhatikan untuk meminimalisir intervensi orangtua atas perkuliahan yang kita jalani.
Ceritakanlah detail capaian IPK kita sesuai dengan kepribadian umum dan pandangan hidup versi orangtua.
Membeberkan seluruh fakta tak selamanya berakhir baik, sebab ada beberapa informasi yang baru bisa diceritakan setelah selang beberapa waktu berlalu.
Dengan memahami mana saja yang perlu dan tidak perlu diceritakan, kemandirian kuliah kita bisa lebih terjamin dari gangguan-gangguan intervensi pihak lain termasuk orangtua.
Sekarang, siapkah kamu menceritakan capaian IPK kepada orangtua?
Kolom komentar selalu kami buka untuk membuka ruang keluh kesahmu, teman-teman mahasiswa. Boleh anonim, boleh juga memakai identitas terbuka.
Ceritamu tidak saja bisa membantu kami meningkatkan inovasi pelayanan, namun juga mendorong mahasiswa lain untuk lebih percaya diri dan berani menjalani tantangan kuliahnya.
Suka dengan artikel ini? Yuk bagikan ke yang lain!
Baca juga:
- Kenapa Orang Korea Tidak Mempunyai Bau Badan? Ini Jawabannya!
- 15 Gambar Motivasi Ini akan Mengubah Cara Berpikirmu
- 7 Potret Lucu Peserta Didik Menjelang Ujian