Sejarah adalah cermin besar yang telah sukarela menunjukkan kebenaran. Termasuk kebenaran bahwa tidak ada yang ditinggalkan peperangan, kecuali luka dan penderitaan. Di berbagai belahan dunia, sejak lama, mata kita sudah disajikan tak kurang-kurang kisah tentang peperangan, penaklukan, penindasan, perbudakan, dan perampasan.
Perang dunia I dan II, invasi militer di Timur Tengah, hingga lebih jauh lagi peperangan antarkerajaan dan sejarah penaklukan berbagai kawasan oleh satu dan lain kawasan, atau antara satu ke lain suku serta kawanan manusia lainnya.
Dan apa yang terjadi setelahnya? Para pemenang perang menuliskan sejarahnya sendiri dan mereka yang kalah, jika tidak mati, maka berakhir dalam hidup yang pilu dan mengenaskan. Hidup mereka yang kalah akan dijarah dan ditindas kemanusiaannya hingga tak tersisa.
Akan tetapi, selain luka dan penderitaan, peperangan yang sudah usai juga meninggalkan pelajaran berharga bagi mereka yang mencintai hidup.
Barangkali tidak ada yang lebih membosankan dari belajar tentang sejarah. Apa sih yang menarik dari buku-buku tebal nan usang, yang diterbitkan berulang-ulang, isinya begitu-begitu saja, dan tentunya kebenaran yang masih dapat diperdebatkan. Kendati demikian, hidup yang berjalan hingga saat ini hanyalah pilinan dari sejarah demi sejarah belaka, tak lebih dan tak kurang rautnya. Terlebih dengan kebenaran yang masih sangat dapat diperdebatkan, sejarah masih perlu untuk terus dibaca dan dimaknai ulang sehingga dapat diartikan sebagai pelajaran berharga oleh kita yang menjalani hidup hari ini dan hari esok. Jasmerah, kata Soekarno.
Proses pemaknaan sejarah bisa begitu beragam bentuk, ukuran, berikut tafsirannya. Dari melalui tulisan-buku, penelitian, kajian ilmiah, film, hingga lagu, dan animasi. Dari perspektif politik, hukum, sosial budaya, ataupun seni. Betapa kaya sekali pelajaran yang mungkin kita peroleh dari sejarah ini.
Jepang, terlepas dari kisah penjajahan dan penaklukan di bumi nusantara berpuluh tahun lalu, pada hari ini telah membuka mata kita akan banyaknya hal bermanfaat yang bisa dikemas secara menarik. Kekayaan akan imajinasi yang dapat diwujudkan dalam suatu karya seni (ini yang barangkali kurang kita temui di sini) memberi begitu banyak kemungkinan bahwa memang ternyata masih ada banyak sekali hal yang mungkin kita upayakan. Salah satunya adalah serial animasi, atau acap kita ketahui dengan nama anime. Judul-judul kanon, seperti Naruto, One Piece, Inuyasha, Digimon, Pokemon, dan lain sebagainya yang telah menemani masa kecil, remaja, hingga kita entah menjadi apa di hari ini, bukankah sudah merupakan bukti autentik betapa kita dipapar limpahan imajinasi, sebelum nanti kita bahas soal psikologi-imajinasi tersebut.
Vinland Saga
Pada hari ini, di tengah gempuran anime-anime bertema isekai dan dominasi judul-judul kanon yang masih kuat bertahan, muncul sebuah serial yang menunjukkan taji sebagai, yang dinilai dalam tulisan ini sebagai sebuah diskursus sejarah. Vinland Saga judulnya, saat ini memasuki season kedua yang digarap secara epik oleh Mappa Studios, setelah sebelumnya di season pertama digarap oleh Wit Studio. Vinland Saga pada dasarnya merupakan hasil adaptasi dari manga dengan judul sama karya Makoto Yukimura, yang rilis pertama kali pada tahun 2005, terpaut sekitar 14 tahun dengan rilisan anime-nya. Di banyak kanal online streaming, VS yang sudah sampai eps ke-21 ini dapat ditemui setiap hari selasa.
Bagaimana bisa Vinland Saga dapat dimaknai sebagai diskursus sejarah? Sampai jumpa di babak kedua. Tulisan ini akan cukup panjang dan terbagi dalam beberapa babak. Di babak pertama ini, sebagaimana dapat dibaca sejak awal, merunut bagaimana sejarah bisa disampaikan dan dimaknai ulang dalam banyak cara. Dan Vinland Saga salah satunya.
Oiya, jangan lupa untuk membaca artikel lain yang tak kalah menarik dan pastinya bermanfaat dari Jagoketik, ciao~