Arus bebas informasi yang pesat tidak diimbangi oleh minat baca yang tinggi. Realitas ini terjadi di Indonesia, yang memperlihatkan angka 0,001% minat baca atau dari 1.000 masyarakat Indonesia, hanya satu orang saya yang memiliki minat/rajin membaca.
Tidak hanya itu, sesuai hasil riset World’s Most Literate Nations Ranked yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016, menempatkan Indonesia berada di urutan ke-60 dari 61 negara terkait minat membaca. Peringkat tersebut pun mengharuskan kita untuk menghela napas karena infrastruktur untuk menunjang membaca sebenarnya sudah cukup baik. Kehadiran gawai pun tidak benar-benar memberikan dorongan bagi masyarakat Indonesia untuk giat membaca.
Banyak Bicara, Enggan Membaca
Merujuk riset yang dilakukan Emarketer, memperlihatkan bila Indonesia menempati peringkat kelima terkait kepemilikan gawai, terutama ponsel pintar. Selain itu, pada tahun 2018 silam, terdapat lebih dari 100.000.000 masyarakat Indonesia yang aktif menggunakan ponsel pintar. Jumlah tersebut pun menempatkan Indonesia di peringkat keempat terkait pengguna aktif ponsel pintar.
Hal yang menyedihkan soal minat baca yang rendah adalah rutinitas masyarakat Indonesia yang menghabiskan waktu sekitar sembilan jam per hari untuk menatap layar gawai. Tidak mengherankan bila di kanal media sosial, masyarakat Indonesia dengan mudah membagikan gagasan mereka. Membagi gagasan, tetapi tidak disertai dengan minat membaca merupakan kesia-siaan. Belum lagi, beberapa waktu yang lalu, media luar negeri sempat menyebutkan bahwa masyarakat Indonesia, terutama pengguna Twitter, memiliki tingkat kesopanan yang rendah.
Melihat realitas tersebut, tidak mengherankan bila kabar palsu kerap muncul, bahkan sempat menjadi pembenaran untuk menyanggah informasi lain. Di Twitter, misalnya, siapa saja bisa menjadi pakar atau ahli. Sekadar tahu, itupun hanya permukaan dan belum teruji kredibilitasnya, beberapa pengguna Twitter dengan lantang berani memperdebatkan suatu wacana. Inilah wajah asli pengguna sosial media Indonesia. Sedikit tahu, tetapi gemar berbicara.
Tugas Berat Menanti: Peningkatan Minat Baca vs Kebohongan
Tingkat minat membaca yang rendah pun bisa menjadi sasaran empuk bagi seseorang yang menginginkan eksistensi. Seseorang tersebut akan dengan mudah menciptakan pseudonim. Menciptakan sesuatu seakan-akan nyata, tetapi sesungguhnya hanyalah kepalsuan. Hal ini pun merambah ke bermacam keilmuan, mulai dari pseudosastra, pseudosejarah, dan beberapa cabang keilmuan lain. Dengan minat baca yang rendah, bisa saja masyarakat Indonesia akan mudah terjebak dalam posttruth. Kebohongan yang menyamar menjadi kebenaran. Sederhananya, mengucapkan kebohongan berkali-kali, maka masyarakat akan menganggap kebohongan tersebut sebagai kebenaran.
Mulai sekarang, selain mempersiapkan bahan bacaan, coba untuk berbicara sesuatu yang sebenar-benarnya kamu tahu. Boleh pula mencari tahu segala hal melalui bermacam media. Namun, sebelum itu, pastikan media yang kamu pilih benar-benar kredibel.