Sejak kecil kita sudah diminta untuk menanam harapan dan mengupayakannya sekuat mungkin. Bahkan, Bung Karno pernah berkata demikian, “Bermimpilah setinggi mungkin. Jika jatuh, maka akan terjatuh di antara bintang-bintang.” Sayang, sebagian—atau banyak orang—terjatuh langsung ke bumi tanpa sekalipun menyentuh bintang. Ternyata untuk memiliki harapan bukan perkara sederhana. Kegagalan demi kegagalan silih berganti. Seakan-akah harapan dan kegagalan merupakan satu paket yang dikirimkan oleh kurir bernama kehidupan.
Usia di atas 20 tahun mengharuskan manusia untuk mulai sibuk menata kehidupannya, yaitu mulai merancang masa depan yang akan mereka lalui. Hanya saja, kecemasan akan masa depan pun turut muncul. Perlu kamu ketahui bahwa kecemasan bisa pula berakibat buruk bagimu. Tidak jarang rasa cemas itu akan menghilang. Namun, beberapa kali, terutama saat manusia kembali terjebak dalam rutinitas mengharap, kecemasan hadir seperti penagih utang.
Kecemasan terhadap masa depan yang berlebihan bisa berakibat buruk bagi kondisi psikologismu. Kepercayaan diri akan kemampuan secara perlahan akan berkurang. Kepastian hidupmu hanya bergantung pada angin: yang akan membawamu tanpa tujuan yang tidak jelas. Sayangnya kamu memilih hal tersebut karena kadung enggan untuk berharap, terutama tidak ingin kembali merasakan kegagalan.
Satu dari kegagalan manusia adalah merencanakan perjalanan panjang. Perjalanan panjang yang membutuhkan bahan bakar, peta, tenaga, dan penerimaan diri. Kamu harus tahu, apakah rute yang sudah kamu pilih merupakan rute terbaik, atau sebaliknya. Dari hal ini, kamu atau kita, bisa menakar soal peluang dan risiko. Seberapa menguntungkan rute yang kita pilih, serta seberapa besar kerugian yang bakal kita dapat.
Yang pada akhirnya manusia sekadar melakukan pertimbangan dan tidak benar-benar sampai ke tujuan yang ia inginkan. Rute telah menyesatkan, tenaga telah memudar, pasokan bahan bakar hampir tandas. Demikianlah perjalanan panjang yang bisa kita lakukan ke depan. Untuk saat ini, apakah dirimu akan tetap memercayai bahwa perjalanan panjang akan benar-benar menawarkan kebahagiaan? Tentu tidak!
Catatan penting seorang manusia berasal dari kegagalan. Banyak dari kita yang menganggap kegagalan adalah akhir dari perjalanan panjang. Tuhan sedang menyediakan rute terbaik yang akan bisa kita tempuh. Namun, mengapa kita harus menemukan ketersesatan sebelum sampai pada akhirnya menemukan tujuan akhir? Mungkin saja kegagalan merupakan cara Tuhan mengawasi umatnya dalam memilih rute perjalanan.
Jika kita masih memercayai soal rute perjalanan, maka tanpa sadar kita masih mengharapkan tujuan (baca:harapan). Jadi, tidak perlu ragu untuk kembali memulai perjalananmu. Sudah selayaknya manusia cemas. Dengan kecemasan tersebut, maka manusia bisa menilai diri sendiri: apakah ia layak dengan tujuan yang diinginkan atau tidak.